Indonesia
adalah negara-bangsa yang religius. Religiusitas itu bersumber dari seluruh
agama yang diakui oleh negara. Setiap agama memiliki nilai-nilai dasar untuk
membangun kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan
prinsip-prinsip universal yang bisa diterima bersama. Seluruh agama memiliki
tata nilai yang menjadi aturan atau panduan bagi seluruh umat manusia. Panduan
tersebut bersifat menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, tak
terkecuali dalam aspek politik. Panduan tersebut bisa digali dari semangat
moral agama-agama yang ada tersebut. Dalam konteks politik kekuasaan, agama
memiliki prinsip-prinsip yang sangat penting dan mendasar untuk mewujudkan
politik yang berperadaban dengan cara menghindari tindakan-tindakan penyelewengan
kekuasaan. Ada beberapa prinsip agama dalam penyelenggaraan kekuasaan yang
diorientasikan untuk mengantarkan kepada kesejahteraan lahir dan batin. Dalam
konteks Islam, ada beberapa nilai dalam agama yang perlu diimplementasikan
dalam politik.
Pertama,
menjadikan keluarga tetap sebagai yang utama. Aktivitas politik tidak boleh membuat
perempuan mengabaikan keluarga. Aktivitas politik harus diseiring-sejalankan
dengan aktivitas mengelola keluarga yang baik, penuh ketenangan (sakînah),
cinta (mawaddah), dan kasih saying (rahmah) (al-Rum: 21).
Islam menempatkan perempuan sebagai pengambil peran yang sangat penting dalam
keluarga, terutama dalam mendidik anak sebagai generasi masa depan, sehingga
disebut sebagai madrasah yang pertama (madrasat al-ûlâ) yang sangat
menentukan masa depan sebuah negara. Secara lebih tegas, Nabi menyebut
perempuan sebagai penentu baik buruk sebuah negara; ia adalah tiang negara;
jika perempuan baik, maka baiklah negara; namun jika buruk, maka buruklah
negara (al-nisâ’ ‘imâd al-bilâd, idzâ shaluhat, shaluhat al-bilâd; wa idzâ
fasadat, fasadat al-bilâd). Kaum perempuan juga disebut sebagai penentu
surga dan neraka bagi anak-anaknya; surga di bawah telapak kaki ibu (al-jannatu
tahta aqdâm al-ummahât). Telapak kaki merupakan ilustrasi tindakan dan
langkah-langkah seorang ibu yang memberikan pendidikan kepada anak-anak yang
dilahirkan. Perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar karena perempuan
memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga, bahkan memiliki peran-peran
yang tidak bisa dilakukan sama sekali oleh laki-laki.
Kedua,
memiliki rasa malu yang lebih besar. Tuntutan rasa malu yang lebih besar
tersebut karena harapan awal bahwa perempuan masuk ke dalam politik adalah
untuk mengemban peran memperbaiki dunia politik yang telah lekat dengan tidak
hanya image tetapi juga tindakan kotor dan kasar. Karena itu, perempuan
seharusnya memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan-tindakan kotor berupa
penyelewengan kekuasaan. Nabi Muhammad saw. mengajarkan bahwa malu adalah bagian
dari iman (al-hayâ’ min al-îmân). Tentu saja “malu” dalam konteks ini
bukan malu dalam konteks sebagaimana dipahami oleh mayoritas masyarakat. Malu
yang dimaksudkan adalah malu bertindak yang tidak sesuai dengan norma-norma
agama dan masyarakat. Praktik korupsi atau penyelewengan kekuasaan dalam segala
bentuknya seharusnya membuat para penyelenggara negara malu, terlebih kaum
perempuan, karena keberadaannya dalam politik justru karena dorongan untuk
membersihkannya.
Ketiga, menekankan
kehidupan asketik. Sikap asketik adalah sikap tidak menjadikan harta duniawi
dan kesenangan kepadanya sebagai orientasi dalam hidup. Kehidupan yang tidak
didasari kepada asketisme akan mengantarkan kepada hedonisme, yakni sikap hidup
untuk menikmati kehidupan duniawi dengan cara bermewah-mewah. Sikap inilah yang
kemudian mengantarkan kepada kecenderungan untuk berlaku korup (Lihat Ibnu
Khaldun, Muqaddimah). Politik adalah medan perjuangan dan alat untuk
perbaikan, bukan sarana untuk mencari keuntungan material. Karena itu, perempuan
politik tidak selayaknya menjadikan harta kekayaan sebagai tujuan dalam
memperoleh, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan. Kekuasaan yang berhasil
didapatkan, dipertahankan, dan diperbesar harus diorientasikan sebesar-besarnya
untuk perbaikan negara demi menyejahterakan warganya. Prinsip untuk hidup asketik ditegaskan oleh
al-Qur’an, di antaranya dalam al-Ahzab: 28-29.
يَآأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً {28} وَإِن كُنتُنَّ
تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ
مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيم
Artinya:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: ‘Jika kamu sekalian
menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan
kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu
sekalian menghendaki (ridla) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di akhirat,
maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu
pahala yang besar.” (al-Ahzab: 28-29)
Agenda Aksi
Politik
perempuan harus terfokus kepada perbaikan negara dan menyejahterakan warganya.
Untuk itu, para aktivis politik perempuan seharusnya menjadi pelopor bagi
agenda-agenda untuk mentransformasikan ajaran-ajaran agama ke dalam
produk-produk kebijakan politik kenegaraan. Dalam konteks negara-bangsa,
formalitas agama tidak perlu dinampakkan dalam label-label kebijakan politik,
tetapi substansinya haruslah merupakan transformasi dari semangat ajaran-ajaran
agama dalam kitab suci masing-masing. Beberapa agenda aksi yang sangat mendesak
untuk diperjuangkan oleh perempuan di antaranya adalah:
Pertama,
memperjuangankan sistem politik dan juga kebijakan-kebijakan politik yang
membuat perempuan dapat menjalankan fungsi-fungsi dalam keluarga dan juga
fungsi-fungsi sebagai pengambil kebijakan politik. Dengan demikian, perempuan
dapat memainkan peran ganda sebagai pengurus urusan-urusan domestik (rumah
tangga) dan juga yang bersifat publik (politik).
Kedua, cuti untuk
perempuan hamil dan menyusui atau mengasuh anak. Pemberian cuti ini sangat
diperlukan agar kaum perempuan bisa berkonsentrasi dalam mengurus kelahiran
anak dan memelihara anak secara baik. Islam sesungguhnya memiliki ajaran yang
sangat berpihak kepada perempuan dan anak dalam hal ini. Namun, sebagai negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, ajaran tersebut belum
diimplementasikan, karena belum pernah muncul kesadaran yang signifikan untuk
memperjuangkannya. Islam menganjurkan agar setiap perempuan yang mengandung
mengurus anaknya dengan baik, terutama dengan memberikan ASI selama dua tahun
penuh (lihat al-Baqarah: 233, Luqman: 14, dan al-Ahqaf: 15).
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
(البقرة: 233)
Artinya: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan”. (al-Baqarah: 233)
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي
عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا (الأحقاف: 15)
Artinya:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (al-Ahqaf:
15)
Justru
Kanada adalah contoh yang paling baik dalam hal ini. Walaupun mayoritas
pendudukan negara tersebut menganut agama non-Islam, tetapi kebijakan politik
dalam hal ini terbilang sangat Islami. Sejak tahun 2001, Kanada telah
memberikan cuti selama setahun kepada ibu yang melahirkan dan setelah cuti bisa
kembali ke tempat kerja dengan posisi yang tetap. Selama cuti, gaji tetap
dibayarkan sebesar 55%. Cuti juga bisa diperpanjang untuk menyempurnakan
pemberian ASI, namun di luar tanggungan negara. Selain itu, suami juga memiliki
hak cuti untuk mendampingi istri melahirkan dan proses setelah melahirkan
selama 37 pekan dengan tetap mendapatkan gaji secara utuh.
Ketiga,
menghapuskan kebijakan-kebijakan politik yang bias jender. Kebijakan-kebijakan
politik tersebut terutama diberlakukan di level daerah, seperti Perda tentang
larangan keluar malam terhadap perempuan, harus memakai pakaian yang lazim
disebut jilbab, dan lain-lain. Kebijakan-kebijakan politik tersebut sangat
tidak ramah kepada perempuan namun diberlakukan dengan menggunakan agama
sebagai basis legitimasi.
Dengan menggunakan agama
sebagai basis bagi praktik berpolitik, maka kaum perempuan akan berhasil
membuat kebijakan-kebijakan politik yang dapat memajukan negara-bangsa
Indonesia. Kebaikan negara dimulai dari perempuan, karena perempuan memiliki
peran yang sangat penting bagi generasi baru yang merupakan pemilik masa depan
negara. Karena itu, perempuan yang berada dalam ranah politik seharusnya lebih
memfokuskan diri kepada agenda-agenda mendesak di atas dan tidak tergoda untuk
melakukan yang lainnya yang secara faktual justru merugikan peran politik
perempuan dan bahkan kontradiktif dengan tujuan awal perempuan berpolitik. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
aku kok bingung ya
BalasHapus