Rabu, 09 Mei 2012

Kebijakan Pro Perempuan Berbasis Moral Agama



         Indonesia adalah negara-bangsa yang religius. Religiusitas itu bersumber dari seluruh agama yang diakui oleh negara. Setiap agama memiliki nilai-nilai dasar untuk membangun kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan prinsip-prinsip universal yang bisa diterima bersama. Seluruh agama memiliki tata nilai yang menjadi aturan atau panduan bagi seluruh umat manusia. Panduan tersebut bersifat menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dalam aspek politik. Panduan tersebut bisa digali dari semangat moral agama-agama yang ada tersebut. Dalam konteks politik kekuasaan, agama memiliki prinsip-prinsip yang sangat penting dan mendasar untuk mewujudkan politik yang berperadaban dengan cara menghindari tindakan-tindakan penyelewengan kekuasaan. Ada beberapa prinsip agama dalam penyelenggaraan kekuasaan yang diorientasikan untuk mengantarkan kepada kesejahteraan lahir dan batin. Dalam konteks Islam, ada beberapa nilai dalam agama yang perlu diimplementasikan dalam politik.

       Pertama, menjadikan keluarga tetap sebagai yang utama. Aktivitas politik tidak boleh membuat perempuan mengabaikan keluarga. Aktivitas politik harus diseiring-sejalankan dengan aktivitas mengelola keluarga yang baik, penuh ketenangan (sakînah), cinta (mawaddah), dan kasih saying (rahmah) (al-Rum: 21). Islam menempatkan perempuan sebagai pengambil peran yang sangat penting dalam keluarga, terutama dalam mendidik anak sebagai generasi masa depan, sehingga disebut sebagai madrasah yang pertama (madrasat al-ûlâ) yang sangat menentukan masa depan sebuah negara. Secara lebih tegas, Nabi menyebut perempuan sebagai penentu baik buruk sebuah negara; ia adalah tiang negara; jika perempuan baik, maka baiklah negara; namun jika buruk, maka buruklah negara (al-nisâ’ ‘imâd al-bilâd, idzâ shaluhat, shaluhat al-bilâd; wa idzâ fasadat, fasadat al-bilâd). Kaum perempuan juga disebut sebagai penentu surga dan neraka bagi anak-anaknya; surga di bawah telapak kaki ibu (al-jannatu tahta aqdâm al-ummahât). Telapak kaki merupakan ilustrasi tindakan dan langkah-langkah seorang ibu yang memberikan pendidikan kepada anak-anak yang dilahirkan. Perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar karena perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga, bahkan memiliki peran-peran yang tidak bisa dilakukan sama sekali oleh laki-laki.
        Kedua, memiliki rasa malu yang lebih besar. Tuntutan rasa malu yang lebih besar tersebut karena harapan awal bahwa perempuan masuk ke dalam politik adalah untuk mengemban peran memperbaiki dunia politik yang telah lekat dengan tidak hanya image tetapi juga tindakan kotor dan kasar. Karena itu, perempuan seharusnya memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan-tindakan kotor berupa penyelewengan kekuasaan. Nabi Muhammad saw. mengajarkan bahwa malu adalah bagian dari iman (al-hayâ’ min al-îmân). Tentu saja “malu” dalam konteks ini bukan malu dalam konteks sebagaimana dipahami oleh mayoritas masyarakat. Malu yang dimaksudkan adalah malu bertindak yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan masyarakat. Praktik korupsi atau penyelewengan kekuasaan dalam segala bentuknya seharusnya membuat para penyelenggara negara malu, terlebih kaum perempuan, karena keberadaannya dalam politik justru karena dorongan untuk membersihkannya.  
             Ketiga, menekankan kehidupan asketik. Sikap asketik adalah sikap tidak menjadikan harta duniawi dan kesenangan kepadanya sebagai orientasi dalam hidup. Kehidupan yang tidak didasari kepada asketisme akan mengantarkan kepada hedonisme, yakni sikap hidup untuk menikmati kehidupan duniawi dengan cara bermewah-mewah. Sikap inilah yang kemudian mengantarkan kepada kecenderungan untuk berlaku korup (Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah). Politik adalah medan perjuangan dan alat untuk perbaikan, bukan sarana untuk mencari keuntungan material. Karena itu, perempuan politik tidak selayaknya menjadikan harta kekayaan sebagai tujuan dalam memperoleh, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan. Kekuasaan yang berhasil didapatkan, dipertahankan, dan diperbesar harus diorientasikan sebesar-besarnya untuk perbaikan negara demi menyejahterakan warganya.  Prinsip untuk hidup asketik ditegaskan oleh al-Qur’an, di antaranya dalam al-Ahzab: 28-29.
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً {28} وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيم
Artinya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: ‘Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (ridla) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (al-Ahzab: 28-29)

Agenda Aksi
          Politik perempuan harus terfokus kepada perbaikan negara dan menyejahterakan warganya. Untuk itu, para aktivis politik perempuan seharusnya menjadi pelopor bagi agenda-agenda untuk mentransformasikan ajaran-ajaran agama ke dalam produk-produk kebijakan politik kenegaraan. Dalam konteks negara-bangsa, formalitas agama tidak perlu dinampakkan dalam label-label kebijakan politik, tetapi substansinya haruslah merupakan transformasi dari semangat ajaran-ajaran agama dalam kitab suci masing-masing. Beberapa agenda aksi yang sangat mendesak untuk diperjuangkan oleh perempuan di antaranya adalah:
      Pertama, memperjuangankan sistem politik dan juga kebijakan-kebijakan politik yang membuat perempuan dapat menjalankan fungsi-fungsi dalam keluarga dan juga fungsi-fungsi sebagai pengambil kebijakan politik. Dengan demikian, perempuan dapat memainkan peran ganda sebagai pengurus urusan-urusan domestik (rumah tangga) dan juga yang bersifat publik (politik).
         Kedua, cuti untuk perempuan hamil dan menyusui atau mengasuh anak. Pemberian cuti ini sangat diperlukan agar kaum perempuan bisa berkonsentrasi dalam mengurus kelahiran anak dan memelihara anak secara baik. Islam sesungguhnya memiliki ajaran yang sangat berpihak kepada perempuan dan anak dalam hal ini. Namun, sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, ajaran tersebut belum diimplementasikan, karena belum pernah muncul kesadaran yang signifikan untuk memperjuangkannya. Islam menganjurkan agar setiap perempuan yang mengandung mengurus anaknya dengan baik, terutama dengan memberikan ASI selama dua tahun penuh (lihat al-Baqarah: 233, Luqman: 14, dan al-Ahqaf: 15).
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ (البقرة: 233)     
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (al-Baqarah: 233)
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا (الأحقاف: 15)
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (al-Ahqaf: 15)

           Justru Kanada adalah contoh yang paling baik dalam hal ini. Walaupun mayoritas pendudukan negara tersebut menganut agama non-Islam, tetapi kebijakan politik dalam hal ini terbilang sangat Islami. Sejak tahun 2001, Kanada telah memberikan cuti selama setahun kepada ibu yang melahirkan dan setelah cuti bisa kembali ke tempat kerja dengan posisi yang tetap. Selama cuti, gaji tetap dibayarkan sebesar 55%. Cuti juga bisa diperpanjang untuk menyempurnakan pemberian ASI, namun di luar tanggungan negara. Selain itu, suami juga memiliki hak cuti untuk mendampingi istri melahirkan dan proses setelah melahirkan selama 37 pekan dengan tetap mendapatkan gaji secara utuh.
       Ketiga, menghapuskan kebijakan-kebijakan politik yang bias jender. Kebijakan-kebijakan politik tersebut terutama diberlakukan di level daerah, seperti Perda tentang larangan keluar malam terhadap perempuan, harus memakai pakaian yang lazim disebut jilbab, dan lain-lain. Kebijakan-kebijakan politik tersebut sangat tidak ramah kepada perempuan namun diberlakukan dengan menggunakan agama sebagai basis legitimasi.
       Dengan menggunakan agama sebagai basis bagi praktik berpolitik, maka kaum perempuan akan berhasil membuat kebijakan-kebijakan politik yang dapat memajukan negara-bangsa Indonesia. Kebaikan negara dimulai dari perempuan, karena perempuan memiliki peran yang sangat penting bagi generasi baru yang merupakan pemilik masa depan negara. Karena itu, perempuan yang berada dalam ranah politik seharusnya lebih memfokuskan diri kepada agenda-agenda mendesak di atas dan tidak tergoda untuk melakukan yang lainnya yang secara faktual justru merugikan peran politik perempuan dan bahkan kontradiktif dengan tujuan awal perempuan berpolitik. Wallahu a’lam bi al-shawab.  

1 komentar: