Jumat, 30 Desember 2011

Training For Trainer (TFT) dan Workshop Materi Kurikulum Kohati Tingkat Nasional - KOHATI PB HMI



    Substansi kemanusiaan perempuan tidaklah berbeda dengan laki - laki, sebagai manusia keduanya memiliki fitrah, akal, dan tujuan penciptaan (makhluk) yang sama. Yang membedakan keduanya hanyalah faktor biologis. Konsekwensi logis dari perbedaan ini adalah terbentuknya budaya pembagian peran sebagai salah satu bentuk pengejawantahan konsep keadilan. Keduanya tercipta untuk saling melengkapi satu sama lain bahkan jika dicermati lebih jauh perempuan memiliki kemampuan maupun kecenderungan-kecenderungan khusus yang membuatnya sangat penting dalam membangun peradaban lebih baik kedepan, melahirkan misalnya, kemampuan “menciptakan” makhluk (manusia) baru tersebut hanya dimiliki oleh perempuan secara khusus. Kecenderungan perempuan yang lembut dan penyayang juga sangat penting dalam membangun karakter anak. Pendeknya perempuan memiliki tanggung jawab mulia dalam “menciptakan”, merawat dan membentuk karakter awal penggiat peradaban kedepan. Artinya fakta keperempuanan hari ini adalah potret peradaban kedepan. Sayangnya sebagian orang seringkali menilai kelebihan-kelebihan tersebut sebagai kelemahan yang dimiliki oleh perempuan. 
        Dalam perkembangannya, budaya pembagian peran tersebut seringkali menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan sehingga sejarah mecatat bahwa posisi perempuan tidaklah terukir sebagaimana mestinya. Diskriminasi ataupun subordinasi menjadi kata yang mewakili kondisi mayoritas perempuan sebagai akibat dari sistem yang sengaja maupun tidak sengaja tercipta oleh kepentingan patriarki. Ini adalah salah satu pemicu munculnya gerakan-gerakan perempuan, dengan tujuan melakukan perlawanan, perlawanan terhadap penindasan gender.
    Tak terkecuali gerakan perempuan Islam melakukan hal yang sama, mencoba meretas berbagai paradigma gender yang tidak adil, tak ketinggalan juga KOHATI sebagai salah satu organisasi mahasiswa pencetak kader muslimah berkualitas insan cita.
    Sejak awal berdirinya, KOHATI telah menampakkan kualitas kader yang dapat diandalkan. Ini dibuktikan dengan tampilnya kader-kader KOHATI di berbagai wilayah/daerah dalam memberikan konstribusi bagi terlaksananya agenda-agenda pembaharuan, dimana kader KOHATI tidak sekedar mengisi kekosongan atau mewarnai proses-proses yang terjadi namun lebih dari itu kader-kader KOHATI telah mampu menjadi pelaku utama dalam menggerakkan perubahan kearah yang lebih baik. 
      Namun jika dicermati dengan kritis sebaran kader berkualitas tersebut seakan menjadi alasan untuk merasa besar semata, tidak menjadi pemicu bagi perbaikan kelembagaan dan perbaikan sistem perkaderan KOHATI sebagai upaya peningkatan kualitas kader dan lembaga agar sinergis dengan zaman yang terus bergerak maju. Prestasi tersebut tak lebih dari alasan untuk merasa cukup dengan apa yang telah diperbuat dan dihasilkan. Akibatnya upaya perbaikan kelembagaan dan perbaikan sistem perkaderan menjadi terabaikan yang berimplikasi pada kondisi kelembagaan dan perkaderan tersebut mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Akhirnya kematangan intelektualitas dan spritualitas selaku muslimah berkualitas insan cita yang seyogyanya menjadi ciri khas lembaga ini juga tidak tergambar jelas dalam diri setiap kader.
        Hasil Assesment dari semua masalah dan kebutuhan lembaga baik ditingkatan komisariat sampai pada level Pengurus Besar pada dasarnya tidaklah jauh berbeda. Walaupun memiliki model dan kualitas persoalannya masing-masing sesuai dengan konteks pada setiap daerah dan tingkatan struktur, sehingga dibutuhkan kecerdasan teoritis dan kecerdasan metodologi dalam mencermati dan mengatasi problem tersebut yang tentu saja membutuhkan tenaga dan kesadaran ekstra untuk mengembalikan dan mengawal ruh kelembagaan ini kepada tujuan yang melandasi dibentuknya lembaga KOHATI yang kita cintai. 
       Secara internal, KOHATI menghadapi kekurangan tenaga pelatih (trainers) dalam menjawab kebutuhan rutinitas pelaksanaan Latihan Khusus KOHATI (LKK) di berbagai wilayah. Kuantitas dan kualitas trainers KOHATI terasa tak mampu mengimbangi jumlah kader dan kebutuhan pelaksanaan Latihan Khusus KOHATI (LKK) yang terus berkembang. Pada titik lain, pelaksanaan Training For Trainers (TFT) belum memiliki bentuk yang baku atau selalu berubahubah dalam setiap pelaksanaannya dan hal ini berakibat pada tidak seragamnya kapasitas trainers yang dihasilkan dari setiap pelaksanaan program Training For Trainers (TFT). Hal ini mewajibkan Pengurus Besar KOHATI menginisiasi pelaksanaan Training For Trainers yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan ketersediaan trainers pada setiap pelaksanaan Latihan Khusus KOHATI (LKK) sekaligus dapat dijadikan contoh dalam pelaksanaan Training For Trainers (TFT) untuk mengawali proses penyeragaman pelaksanaan Training For Trainers (TFT) yang dilaksankan oleh lembaga KOHATI pada setiap jenjangnya. 
      Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang tema-tema ke Islaman, keperempuanan, bahkan ke-KOHATI-an serta dominasi budaya asing dalam pembentukan paradigma kader telah menjadi faktor utama yang menjadi pemicu terkikisnya karakter kemuslimahan KOHATI yang terus menurun. 
     
 Dari asumsi ini, Pengurus Besar KOHATI berkesimpulan bahwa pembentukan karakter dan paradigma keperempuanan (muslimah) dan ke-KOHATI-an kader harus dibentuk sejak pertama seorang mahasiswi Islam bergabung dengan organisasi ini, dimana ruang kaderisasi formalnya adalah Basic Training (Latihan Kader I) HMI. Hal ini karena Latihan Khusus KOHATI (LKK) yang merupakan jenjang training internal KOHATI pasca Basic Training HMI cukup terlambat dalam membentengi karakter dan paradigma keperempuanan (Muslimah) serta ke- KOHATI-an para kader KOHATI, ini disebabkan oleh gejolak intelektual kader yang diperoleh saat mengikuti Basic Training HMI telah “memaksa” para kader untuk berinteraksi dengan dinamika intelektual yang lebih luas, dimana dinamika intelektual tersebut mengharuskan para kader bersentuhan dengan wacana-wacana keperempuanan yang beragam dan penuh “ranjau pemikiran”. Karena itu, Basic Training HMI adalah ruang yang tepat untuk membentengi kader KOHATI dengan memberikan gambaran awal tentang konsep perempuan dalam perspektif Islam dan ke-KOHATI-an. Hal ini juga penting untuk membentuk cara pandang kader HMI (HMI-wan) terhadap perempuan yang sesuai dengan perspektif Islam, sehingga kader HMI (HMI-wan) dapat memposisikan perempuan secara adil dalam ruang organisasi dan ruang sosial yang digelutinya. Pilihan langkah ini tentu saja meniscayakan dua hal, pertama, dibutuhkan niat baik kita bersama untuk menjadikan konsep perempuan dalam perspektif Islam dan ke-KOHATI-an sebagai salah satu materi wajib dalam Basic Training HMI, dan kedua, dibutuhkan kurikulum materi tersebut yang akan diterapkan secara seragam dan merata dalam setiap Basic Training HMI.
      Fakta kelembagaan dan kader serta gagasan-gagasan inilah yang mendasari lahirnya perencanaan program TFT (Training For Trainers ) dan Workshop Kurikulum Materi KOHATI.

Untuk download proposal selengkapnya klik disini

1 komentar:

  1. maaf masukan untuk garis Kop surat harus lurus dengan logonya,
    dan begitu juga untuk tanggal bawah surat kurg lurus dengan kepanitiaan, masih banyak revisi soal penulisan suratx

    BalasHapus