Sejarah diadakannya hari buruh International
adalah sebagaimana sejarah yang ditorekhan oleh para kaum buruh di Amerika, Australia
juga Eropa. Yaitu setiap tanggal 1 Mei, kaum buruh dari seluruh dunia
memperingati peristiwa besar demonstrasi yang diadakan pada tahun 1886,
perjuanganya adalah menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan ini
terkait dengan kondisi saat itu, ketika kaum buruh dipaksa bekerja selama 12
sampai 16 jam per hari. Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak
hanya terjadi di Amerika Serikat. Bahkan menurut Rosa Luxemburg (1894),
demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut
sebenarnya diinsipirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebelumnya di
Australia pada tahun 1856. Tuntutan pengurangan jam kerja juga singgah di
Eropa. Saat itu, gerakan buruh di Eropa tengah menguat. Delapan jam/hari atau
40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan
internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no.
47 tahun 1935. Khususnya untuk konvensi no. 47 tahun 1935, sampai saat ini,
baru 14 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Ditetapkannya konvensi
tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung
merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak.
Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah
satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda
berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik
hubungan industrial. Saat ini semakin banyak buruh yang terpaksa bekerja lebih
dari 8 jam perhari, tidak adanya daya tawar dan regulasi yang melindungi
pekerja kita, termasuk pekerja non formal Pekerja Rumah Tangga (PRT). Di
Indonesia sendiri, perayaan May Day sebagai hari libur telah secara resmi
dihapuskan melalui terbitnya UU nomor 13 tahun 2003. Secara tidak langsung,
kemenangan buruh dalam gerakan 1 Mei mengalami kemerosotan tajam, makin lama
makin menghilang.
Saat ini buruh di Indonesia banyak mengalami
ketertindasan, misalnya aspek upah yang tidak sesuai dengan standar hidup layak,
jam kerja, jaminan social-kesehatan, ketidakpastian kerja (out sourcing), PHK
sepihak dll.
Demikian juga dengan para Pekerja Rumah Tangga
(PRT), dimana PRT sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan yang layak
sebagai pekerja. Selama ini PRT hanya dianggap sebagai pembantu dari pekerjaan
yang ada di sebuah rumah tangga, bukan sebagai pekerja yang diakui hak nya dan
pekerjaan yang berharga. Para PRT semestinya mendapatkan penghargaan atas
pekerjaanya dan tidak mengalami ketertindasan sebagaimana yang selama ini juga
terjadi, seperti kekerasan fisik, seksual, psikis dan ekonomi. Standar kerja
yang layak dan perlindungan terhadap PRT mutlak diperlukan. Beberapa hal penting
yang yang menjadi pertimbangan adalah bahwa baik PRT domestic maupun Migran,
adalah pihak penyokong bagi kalangsungan kehidupan bangsa dan Negara. Para
pahlawan devisa tersebut dapat menghidupi keluarganya, kesehatan, pendidikan
dan kehidupan sehari-hari. Selain itu juga memberikan nilai ekonomi sebagai
devisa untuk pemerintahan. Hal kedua nya adalah bahwa, PRT telah mampu menjadi
pahlawan bagi pekerjaan mulia bagi majikannya, nilai psikologis dan penghargaan
terhadap pekerjaan yang majikan tidak lagi kerjakan adalah bentuk kerja yang profesional.
Beberapa poin penting setidaknya ada sebagai
kado bagi PRT kita,baik domestic ataupun migrant, adalah adanya regulasi dalam
bentuk UU yang berperspektif PRT. UU tersebut setidaknya memuat tentang,
bagaimana diatur tentang kelayakan tentang system kerja (kerja layak prt) dan
perlindungan prt.
Selama inipun, adanya UU nomor 3 tahun 2004
tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia tidak berperspektif
perlindungan, pemerintah melakukan PEMBIARAN terhadap tindak
kesewenang-wenangan kepada PRT migrant, sehingga PRT migrant kita banyak yang
mengalami kasus hukum, vonis hokum yang tidak adil, mengalami kekerasan fisik,
psikis, seksual, ekonomi dll. Contoh kongkrit pembiaran tersebut adalah ketka
dalam UU dinyatakan bahwa, Pemerintah Indonesia seharusnya mengirimkan TKI ke Negara
yang (1) telah memiliki system perlindungan hokum untuk pekerja dalam negeri
nya, dan atau (2) mengirimkan ke Negara yang telah melakukan MoU tentang
pegniriman tenaga kerja dan perlindungannya. Akan tetapi hal itu dilanggar oleh
Pemerintah Indonesia, dengan mengirimkan ke Arab Saudi misalnya, atau juga
Malaysia. Maka dengan ini, pememrintah sendiri telah melakukan tindak melawan hukum.
Dengan fakta ini, pemerintah harus membuktikan dan mewujudkan konsep negara dan
warga Negara, dimana adanya Negara adalah untuk mengatur kepentingan warga Negara
nya.
Untuk Pekerja Rumah Tangga, selama 1 dekade
ini dikumandangkan adanya RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, akan
tetapi sampai sekarang belum juga di syahkan. Berbagai tanggapan miring
terhadap produk perundangan ini terlontar, misalnya terkait jam kerja, upah, system
kerja, penyelesaian perselisihan dll yang dianggap terlalu memanjakan PRT. Konsep
yang semestinya terbangun adalah, terpenuhinya kebutuhan/hak majikan, tapi juga
hak pekerja, meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan social PRT, tentu akan
diimbangi terhadap keahlian PRT tersebut dalam mengelola keperluan majikan nya
(professional). Selain manfaat langsung yang akan diterima oleh PRT domestic,
tentu dengan adanya regulasi Indonesia ini, akan menguatkan bargaining
Indonesia di mata Negara penerima TKI/TKW di luar negeri, karena Indonesia
sendiri telah memiliki mekanisme perlindungan yang memanusiakan. Dalam momentum
hari buruh International ini, mari wujudkan potret Buruh yang manusiawi, wujudkan
UU Perlindungan Buruh Migram dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Endah Cahya Immawati
Catatan Hari Buruh International, 1 Mei 2013.
Luar biasa, YAKUSA !
BalasHapus