Rabu, 01 Mei 2013

Hari buruh International; Manusiakan Buruh, juga Pekerja Rumah Tangga (PRT)


 
Sejarah diadakannya hari buruh International adalah sebagaimana sejarah yang ditorekhan oleh para kaum buruh di Amerika, Australia juga Eropa. Yaitu setiap tanggal 1 Mei, kaum buruh dari seluruh dunia memperingati peristiwa besar demonstrasi yang diadakan pada tahun 1886, perjuanganya adalah menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan ini terkait dengan kondisi saat itu, ketika kaum buruh dipaksa bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Bahkan menurut Rosa Luxemburg (1894), demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut sebenarnya diinsipirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebelumnya di Australia pada tahun 1856. Tuntutan pengurangan jam kerja juga singgah di Eropa. Saat itu, gerakan buruh di Eropa tengah menguat. Delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935. Khususnya untuk konvensi no. 47 tahun 1935, sampai saat ini, baru 14 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Ditetapkannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial. Saat ini semakin banyak buruh yang terpaksa bekerja lebih dari 8 jam perhari, tidak adanya daya tawar dan regulasi yang melindungi pekerja kita, termasuk pekerja non formal Pekerja Rumah Tangga (PRT). Di Indonesia sendiri, perayaan May Day sebagai hari libur telah secara resmi dihapuskan melalui terbitnya UU nomor 13 tahun 2003. Secara tidak langsung, kemenangan buruh dalam gerakan 1 Mei mengalami kemerosotan tajam, makin lama makin menghilang.
 
Saat ini buruh di Indonesia banyak mengalami ketertindasan, misalnya aspek upah yang tidak sesuai dengan standar hidup layak, jam kerja, jaminan social-kesehatan, ketidakpastian kerja (out sourcing), PHK sepihak dll.
 
Demikian juga dengan para Pekerja Rumah Tangga (PRT), dimana PRT sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan yang layak sebagai pekerja. Selama ini PRT hanya dianggap sebagai pembantu dari pekerjaan yang ada di sebuah rumah tangga, bukan sebagai pekerja yang diakui hak nya dan pekerjaan yang berharga. Para PRT semestinya mendapatkan penghargaan atas pekerjaanya dan tidak mengalami ketertindasan sebagaimana yang selama ini juga terjadi, seperti kekerasan fisik, seksual, psikis dan ekonomi. Standar kerja yang layak dan perlindungan terhadap PRT mutlak diperlukan. Beberapa hal penting yang yang menjadi pertimbangan adalah bahwa baik PRT domestic maupun Migran, adalah pihak penyokong bagi kalangsungan kehidupan bangsa dan Negara. Para pahlawan devisa tersebut dapat menghidupi keluarganya, kesehatan, pendidikan dan kehidupan sehari-hari. Selain itu juga memberikan nilai ekonomi sebagai devisa untuk pemerintahan. Hal kedua nya adalah bahwa, PRT telah mampu menjadi pahlawan bagi pekerjaan mulia bagi majikannya, nilai psikologis dan penghargaan terhadap pekerjaan yang majikan tidak lagi kerjakan adalah bentuk kerja yang profesional.
 
Beberapa poin penting setidaknya ada sebagai kado bagi PRT kita,baik domestic ataupun migrant, adalah adanya regulasi dalam bentuk UU yang berperspektif PRT. UU tersebut setidaknya memuat tentang, bagaimana diatur tentang kelayakan tentang system kerja (kerja layak prt) dan perlindungan prt.
Selama inipun, adanya UU nomor 3 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia tidak berperspektif perlindungan, pemerintah melakukan PEMBIARAN terhadap tindak kesewenang-wenangan kepada PRT migrant, sehingga PRT migrant kita banyak yang mengalami kasus hukum, vonis hokum yang tidak adil, mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dll. Contoh kongkrit pembiaran tersebut adalah ketka dalam UU dinyatakan bahwa, Pemerintah Indonesia seharusnya mengirimkan TKI ke Negara yang (1) telah memiliki system perlindungan hokum untuk pekerja dalam negeri nya, dan atau (2) mengirimkan ke Negara yang telah melakukan MoU tentang pegniriman tenaga kerja dan perlindungannya. Akan tetapi hal itu dilanggar oleh Pemerintah Indonesia, dengan mengirimkan ke Arab Saudi misalnya, atau juga Malaysia. Maka dengan ini, pememrintah sendiri telah melakukan tindak melawan hukum. Dengan fakta ini, pemerintah harus membuktikan dan mewujudkan konsep negara dan warga Negara, dimana adanya Negara adalah untuk mengatur kepentingan warga Negara nya.
 
Untuk Pekerja Rumah Tangga, selama 1 dekade ini dikumandangkan adanya RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, akan tetapi sampai sekarang belum juga di syahkan. Berbagai tanggapan miring terhadap produk perundangan ini terlontar, misalnya terkait jam kerja, upah, system kerja, penyelesaian perselisihan dll yang dianggap terlalu memanjakan PRT. Konsep yang semestinya terbangun adalah, terpenuhinya kebutuhan/hak majikan, tapi juga hak pekerja, meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan social PRT, tentu akan diimbangi terhadap keahlian PRT tersebut dalam mengelola keperluan majikan nya (professional). Selain manfaat langsung yang akan diterima oleh PRT domestic, tentu dengan adanya regulasi Indonesia ini, akan menguatkan bargaining Indonesia di mata Negara penerima TKI/TKW di luar negeri, karena Indonesia sendiri telah memiliki mekanisme perlindungan yang memanusiakan. Dalam momentum hari buruh International ini, mari wujudkan potret Buruh yang manusiawi, wujudkan UU Perlindungan Buruh Migram dan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
 
Endah Cahya Immawati
Catatan Hari Buruh International, 1 Mei 2013.

1 komentar: