Minggu, 09 Oktober 2011

Artikel



OPTIMALISASI PEREMPUAN DALAM MENYEIMBANGKAN PERANANNYA DI TENGAH PUBLIK DAN DOMESTIK



Latar Belakang

Berbagai masalah pelik banyak terjadi dewasa ini. Dari mulai pemilu, gempa bumi, korupsi dan lain sebagainya. Namun ada satu masalah yang sampai sekarang masih banyak diperbincangkan oleh beberapa kalangan yaitu yang berkaitan dengan perempuan. Sebenarnya bukan perempuanlah sumber masalahnya, akan tetapi menurut data-data yang telah ada bahwa perempuan menjadi sentral yang termarginalkan dari berbagai masalah. Misalnya kekerasan dalam rumah tangga, tenaga kerja wanita di luar negeri, upah kerja, pengambilan keputusan dan banyak hal lagi yang semuanya menjadikan perempuan lebih tertindas karena keadaan serta pemahaman yang tidak mendukung perempuan untuk dapat maju sebagai manusia.
Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Maka segala permasalahan yang dihadapi hendaknya semua harus peduli dengan hal itu, misalkan ketika perempuan tertindas (contoh peristiwa pembantaian di Gujarat), seharusnya baik perempuan maupun laki-laki harus ikut bertindak dalam peristiwa yang tidak manusiawi ini. Karena perempuan harus disamakan dengan manusia[1]. Pada kasus-kasus kekerasan peristiwa pembantaian di Gujarat yang dialami pada perempuan yang menjadi korban biasanya menimbulkan beberapa dampak yang berkepanjangan :
dampak pada kesehatan fisik (kesehatan reproduksi dan seksual, perempuan hamil dan menyusui, akibat pemiskinan gizi dan kesehatan perempuan), akibat-akibat kesehatan mental (mendiamkan kesakitan, rasa malu, hidup dalam ketakutan – secara individual dan kolektif), pengaruh pada pilihan hidup (dengan tergesa-gesa melangsungkan kawin dini, pembatasan mobilitas dan pendidikan, munculnya kembali penanda dan peran identitas tradisional) , kemelaratan ekonomi dan timbulnya rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan (peranan baru dan beban mempertahankan hidup, penggusuran).
Di zaman kini, konsep ketimuran tentang perempuan yang menjadi kebangaan beberapa kalangan, juga selain ditentukan oleh tradisi, adat, kebudayaan, bahkan juga ideologi dan gaya hidup, hanyalah bagian dari keseluruhan norma dan nilai dalam masyarakat. Dengan demikian kekerasan terhadap perempuan sama sekali tidak beralasan. Sebab hubungan antara perempuan dan laki-laki adalah salah satu hubungan yang paling wajar, paling alami. Namun akibat konstruksi sosialnya yang menghasilkan stereotip dan hirarki, jarang orang mau mengakuinya dengan jujur. Orang terperangkap oleh kemunafikan yang menghambat kedewasaan diri, kematangan dan keterbukaan. Karena itu pengembangan konsep, peran dan status perempuan, seharusnya lebih diberdayakan oleh perempuan itu sendiri.
      Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 telah membicarakan dan mendiskusikan tentang masalah dan isu perempuan seperti pendidikaan bagi kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, pembaharuan UU perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri dikalangan perempuan dan perkawinan paksa, juga tentang anti perpaduan anti poligami dan nasionalisme.
Jumlah perempuan didunia ini semakin mendominasi dari laki-laki, begitupula permasalahannya semakin banyak pula. Dengan jumlah perempuan yang semakin banyak ini, tentunya perempuan lebih dapat mempengaruhi dalam kehidupan. Tapi pada kenyataannya hak perempuan tidak sepenuhnya terlaksanakan, hal itu dipengaruhi oleh banyak factor.
Dalam hal ini sering sekali kita dengar suatu konsep yang dijadikan sebuah referensi untuk dapat membebaskan dan mengembalikan hak-hak perempuan, konsep itu biasa kita kenal dengan istilah gender. Konsep Gender sendiri diartikan sebagai suatu konsep hubungan social yang membedakan peranan antara laki-laki dengan perempuan, yang dibentuk oleh norma social dan nilai social budaya masyarakat.
Untuk memahami konsep ini perlu kita bedakan antara jenis kelamin (sex)  dan gender. Hal tersebut perlu dipahami karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender ( gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inqualities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Jenis kelamin (sex) lebih pada factor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan[2]. Sedangkan konsep gender sendiri lebih pada konstruksi social, mengacu pada sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku pada laki-laki dan perempuan. Berdasarkan kondisi itu maka peran gender dapat berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sesuai dengan norma social dan nilai social budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan sebagainya dan dapat ditukarkan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis.

Kasat Mata : Status dan Peran Perempuan
Menurut kondisi normative, perempuan dan laki-laki mempunyai status dan kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, perempuan mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari pada laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma social dan nilai social budaya tersebut, di antaranya di satu pihak, menciptakan status dan peranan perempuan di sector domestic yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peranan laki-laki di sector public yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan mencari nafkah.
Pemberdayaan Perempuan
Jumlah perempuan yang semakin besar, apabila jumlah tersebut dikelola secara efektif dan efisiensi, hal itu dapat merupakan aset sumber daya pembangunan yang potensial. Untuk itu, optimalisasi penduduk sebagai sumber daya pembangunan harus diimbangi dengan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup baik laki-laki maupun perempuan, sehingga dapat berperan dalam pembangunan. Sekaligus, hal itu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan pilihan atas peran mereka dalam pembangunan.
Meskipun berbagai upaya pembangunan telah banyak dilakukan, masih dijumpai berbagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam peluang dan akses terhadap SDM. Ketimpangan tersebut merupakan masalah struktural yang telah lama ada dan berkembang dalam masyarakat terutama disebabkan oleh nilai-nilai sosial budaya.
Selanjutnya kemajuan yang diraih oleh kaum perempuan ditandai dengan peranan yang semakin meluas dan beragam. Tidak hanya kegiatan sosial reproduktif dalam keluarga, tetapi peran perempuan telah meluas dalam kegiatan publik, seperti: di bidang pendidikan, kesehatan, KB, ekonomi dan ketenagakerjaan, politik dan hukum, kesejahteraan sosial, agama, sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender. Penegakan HAM bagi perempuan dan organisasi perempuan yang dilaksanakan melalui program pemberdayaan perempuan telah memperoleh hasil yang cukup positif meskipun pada bidang-bidang tertentu masih tidak terlihat kemajuan.
Pada saat ini, masih banyak kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender yaitu belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki, serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sarana akhir dari pembangunan. Namun ada permasalahan yang muncul berkaitan dengan hal tersebut. Masalah itu adalah nilai-nilai sosial budaya di masyarakat yang belum mendukung kemajuan perempuan. Kualitas sumber daya manusia perempuan yang masih rendah, dan lemahnya koordinasi antar sektor, serta mekanisme kerja yang belum memadai.

Pengerucutan masalah
Pertanyaannya adalah bagaimana supaya kita mampu fokus pada solusi suatu persoalan? Pertama-tama  kita harus menyadari bahwa setiap orang tidak dapat lepas dari masalah. Kesadaran ini sangat membantu dalam menghadapi sebuah masalah. Bahwasanya masalah itu pasti dialami oleh semua orang kapan saja dan dimana saja. Jadi, masalah itu adalah wajar bukan hal yang patut ditakuti.
Sebuah permasalahan tak pernah usai jika seseorang tak mampu mencari solusinya. Jangan memikirkan kegagalan dari tiap ide solusi, tapi berpikrlah mengenai keberhasilan mengatasi persoalan tersebut. Bila takut gagal mengakibatkan takut mencoba melangkah mengatasi permasalahan. Sehingga kehilangan kesempatan untuk keluar dari problema kehidupan. Tetapi jika berani mencoba, setidaknya kita masih mempunyai kesempatan dan harapan lolos dari masalah.
Ketika solusi yang kita terapkan tidak berhasil, jangan menyerah. Kegagalan itu anggap saja sebagai kesempatan mengevaluasi diri, mencari tahu kelemahan solusi kemudian menyempurnakan. Ingat, bahwa perjuangan bukan biasa atau tidak biasa melainkan mau atau tidak kita konsisten memfokuskan fikiran pada solusi sampai persoalan tersebut terurai dan teratasi.
Dalam hal ini  ada dua variable yaitu publik dan domestic. Dikatakan public apabila menyangkut kepentingan banyak orang dalam penerapannya. Dikatakan domestic apabila menyangkut dirinya sendiri, disini adalah diri seorang perempuan baik sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku pada perempuan tersebut. Contoh dari ranah publik salah satunya tercermin pada pembangunan nasional. Upaya peningkatan kualitas pembangunan nasional, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mensyaratkan SDM yang berkualitas dan professional. Hal ini senantiasa actual sebagai agenda kajian yang serius bagi pemerintah dan seluruh komponen masyarakat. Dalam kontek ini dituntut adanya pemberdayaan perempuan melihat realitas bahwa sumbangan perempuan dalam pembangunan ekonomi cukup besar terutama dalam posisi sebagai pekerja. Tetapi realitas pula menunjukan bahwa dalam masyarakat Indonesia secara garis besar budaya patriarki masih menjadi kulture dan kenyataan ini mendudukkan perempuan dalam ruang subordinate (perempuan selalu kalah oleh laki-laki karena persoalan kelamin bukan karena persoalan kualitas, produktifitas dan profesionalitas)
Fenomena yang ada menunjukan bahwa perempuan di Indonesia dalam kondisi termarjinalisasi, tersubordinasi, terkena tindak kekerasan, pandangan stereotip (pelabelan) dan beban ganda (double burden) yang sangat merugikan. Jika dilihat dalam akar sejarahnya ternyata berawal dari budaya patriarkhis, dimana peran laki-laki sanga dominan. Budaya patriarkhi yang sesuai peradaban manusia mampu menggeser peran-peran perempuan dimana perempuan berada pada sector domestic dan laki-laki pada sector public. Adanya system kapitalis mengukuhkan budaya patriarkhi dan menjadikan peran-peran domestic tidak dihargai sama sekali karena bagaimana kapitalis selalu mengagungkan materi.
Ranah Publik
Ranah publik berupa segala yang berkaitan dengan masyarakat. Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Maka perempuan juga salah satu factor dalam menentukan apa saja yang berhubungan dengan masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam public ini bisa dibilang hanya beberapa persen saja. Hal tersebut sesuai fakta yang ada, missal keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Di Indonesia, jumlah perempuan yang menjadi anggota legislatif (DPR RI/MPR RI), PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural dan jumlah perempuan yang menjadi Lurah/Kepala Desa, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah warga negara Indonesia perempuan lebih banyak (> 50%). Data menunjukkan, bahwa dari setiap delapan orang anggota DPR RI hanya seorang perempuan dan setiap 13 orang anggota MPR RI hanya seorang perempuan. Dilihat dari PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon empat orang pejabat eselon I, seorang di antaranya perempuan; dari setiap 19 orang pejabat eselon II, seorang di antaranya perempuan; dari setiap 15 pejabat eselon III, seorang di antaranya perempuan  dan dari setiap sembilan orang pejabat eselon IV, seorang di antaranya perempuan. Begitu juga perempuan yang menjadi Lurah/Kepala Desa jauh lebih sedikit daripada pria. Dari setiap 40 orang Lurah, hanya seorang perempuan dan dari setiap 55 orang Kepala Desa, hanya seorang perempuan. Data ini menggambarkan terjadi ketimpangan gender di bidang politik, yakni di lembaga legislatif dan eksekutif, sekaligus pula menggambarkan bahwa kedudukan dan peranan perempuan jauh lebih rendah daripada pria di bidang tersebut.

Perempuan dalam pengambilan keputusan desa/kelurahan
     Kepala Desa Perempuan                                           Kepala Kelurahan Perempuan











Anggota BPD









Sumber data : Biro Pemerintahan tahun 2008


    Jika  dilihat dari data diatas bahwa perempuan dalam pengambilan keputusan  dimasyarakat jumlahnya sangat rendah. Seiring dengan makin berkembangnya tuntutan dan suasana demokrasi di berbagai belahan dunia, suara masyarakat (atau entitas nonpemerintah secara umum) telah makin mendapatkan tempat dalam pengambilan keputusan. Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan dengan dukungan yang kuat dari masyarakatnya.  Di sisi lain, dewasa ini aktor-aktor nonnegara makin mempunyai peluang dan kesempatan yang lebih besar terhadap akses ekonomi dan politik sehingga mereka makin dapat memengaruhi pengambilan keputusan suatu pemerintahan atau suatu negara. Peranan diplomasi tradisional (yaitu diplomasi yang dilaksanakan oleh pemerintah) tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya instrumen utama untuk membentuk citra positif suatu negara di dunia internasional. Aktivitas diplomasi tradisional perlu dilengkapi dengan intensifikasi[3] diplomasi publik. Pendekatan diplomasi publik juga mengalami redefinisi dan ekstensifikasi[4], untuk memenuhi berbagai tuntutan global yang makin kompleks.
Sasaran utama dari kegiatan diplomasi publik adalah penyebarluasan citra baik tentang bangsa dan negara kepada masyarakat negara lain dan masyarakat internasional. Citra baik suatu bangsa ditentukan oleh dua faktor. Pertama adalah rumusan ideal tentang nilai-nilai bangsa, sebagaimana dituangkan dalam konstitusi negara.  Kedua adalah kondisi aktual yang terjadi di dalam negeri negara tersebut. Aspek pertama bersifat normatif, yang hampir seluruh bangsa di dunia memiliki citra positif dalam konstitusi mereka, yang diharapkan akan menjadi anutan dan falsafah hidup masyarakat. Sementara aspek kedua bersifat aktual empirik, yang hal ini berkaitan dengan dinamika ekonomi, politik, dan sosial budaya yang terjadi di dalam sebuah negara. 
Ranah Domestik
Pandangan berbagai pihak mengenai peran perempuan sering kita pelesetkan dalam 3 UR yaitu dapur, sumur dan kasur. Namun sebenarnya status dan peranan perempuan di sector domestic yang berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga pada kenyataanya bukan dalam hal itu saja. Secara kronologis perempuan juga mempunyai andil yang besar dalam berbagai hal. Dari mulai kodratnya melahirkan seorang manusia sampai dengan membesarkannya, perempuan  sebagai individu yang mempunyai peran dalam hal ini. Seorang ibu yang hamil menjaga kandungannya hingga bayi yang ada dalam kandungannya lahir, setelah lahir ibu menjadi orang pertama yang hubungan emosionalnya lebih erat dengan si bayi, belum selesai sampai disitu perempuan juga harus membimbing anaknya dengan baik, menjadi perpustakaan bagi sang anak juga perlu, maka dari pada itu seorang perempuan dituntut cerdas, kreatif, inovatif untuk mampu dalam memerankan fungsinya di daerah domestik, itu berarti disini pendidikan dibutuhkan.
Menurut Todaro, ada hubungan yang terbalik antara pendidikan bagi kaum
perempuan dengan jumlah anak per keluarga, khususnya di kalangan penduduk yang taraf pendidikannya secara umum relative rendah. Artinya semakin tinggi pendidikan yang diterima perempuan maka tingkat fertilitas atau kecenderungan untuk memiliki anak akan semakin rendah. Indikator yang dipakai dalam pengukuran pendidikan wanita berikut ini meliputi angka melek huruf dan school enrollment[5] yang menunjukkan pola yang penting dan kecenderungan pendidikan perempuan di negara berkembang. Masing-masing indicator menunjukkan konklusi yang sama : di Negara-negara miskin level pendidikan perempuan masih rendah serta pengukuran gap antara gender terbesar terjadi di Negara-negara ini. pembangunan pendidikan perempuan di Indonesia masuk dalam Medium Human Development dimana angka melek huruf untuk perempuan berusia 15 tahun keatas adalah 86,8%, dan angka melek huruf laki-laki adalah sebesar 94% jika dipersentasekan adalah 92%. Rasio kombinasi antara school enrollment untuk primary, secondary, dan tertiary school yaitu 67% untuk perempuan dan 70% untuk laki-laki.
Kesenjangan atau gap pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya antara lain disebabkan oleh factor
budaya dimana sebagian masyarakat Indonesia beranggapan bahwa pendidikan tinggi
untuk perempuan dianggap tidak penting karena setinggi apapun pendidikan seorang perempuan tidak akan berguna karena pada akhirnya perempuan hanya akan menjadi pengurus rumah tangga, selain itu ada anggapan lain bahwa setinggi apapun kemampuan atau pendidikan seorang perempuan hal itu tidak akan sebanding dengan pria karena anggapan bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada pria dan memang itu sudah menjadi kodrat perempuan.
Dalam kenyataannya peran, status dan fungsi perempuan bukan hanya beberapa hal kodrati (perhatikan antara sex dan gender). Jadi ranah domestik yang dimaksud disini dapat kita pahami dari dua hal, secara kodrati (melahirkan, menyusui) dan secara kebiasaan/budaya (mendidik anak), semuanya harus dimaknai dengan sinkron karena semuanya saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.

Menuju Kemitrasejajaran yang harmonis
Sebetulnya, usaha untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan atau kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, telah lama dilakukan oleh berbagai pihak, namun masih mengalami berbagai hambatan. Kondisi yang diharapkan itu masih sulit dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya kaum perempuan. Untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki tersebut, telah ditempuh beberapa langkah-langkah kebijakan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Pengarusutamaan Gender
Gender Mainstreming atau dalam bahasa Indonesianya disebut dengan Pengarus Utamaan Gender (PUG), diperkuat dengan Inpres No. 9 Th. 2000, tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Tujuan dari PUG ini adalah membangun sebuah system yang efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang responsive gender kepada masyarakat umum, baik perempuan maupun laki-laki. Selain itu kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsive gender akan membuahkan manfaat yang adil dan optimal bagi semua rakyatnya. Dan akhirnya mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG) yang kita semua harapkan. Dengan melakukan PUG, dapat diidentifikasikan kesenjangan gender yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender, dengan demikian tujuan akhir dari pengarus utamaan gender adalah mempersempit atau meniadakan kesenjangan gender.
Perempuan sebagai komponen strategis bangsa dan sebagsi salah satu wadah akselerasi pemberdayaan perempuan harus diarahkan pada upaya penciptaan suasana yang lebih kondusif bagi perkembangan peran perempuan yaitu secara kontinyu mensosialisasikan peran-peran strategis perempuan dalam pembangunan serta penyadaran akan peran-peran masyarakat berbangsa dan bernegara karena perempuan akan senantiasa dihadapkan pada kondisi yang penuh tantangan dalam menghadapi berbagai persoalan kemasyarakatan khususnya persoalan keperempuanan.
Di sisi lain, konsep pemberdayaan perempuan dalam bingkai kesetaraan gender secara umum berorientasi pada paradigma Women in Development (WID), dimana dalam asumsinya masih besifat sexis, yang melihat perempuan sebagai objek yang harus dimobilisasi untuk mendukung proyek pembangunan. Paradigma WID inilah yang dianut Negara selama ini dipadukan dengan kebijakan koorporatisme negara[6]. Organisasi keperempuanan bentukan Negara seperti dharma wanita atau PKK dengan segenap agendanya adalah instrumen yang ampuh untuk mobilisasi kaum perempuan untuk mendukung pembangunan.
Dominasi Negara atas perempuan tercipta secara sistematis melalui proses tersebut. Implikasi lain dari paradigma WID ini adalah ekslusivisme issue-issue keperempuanan, yang berakibat pada marjinalisasi kaum perempuan dari ranah-ranah public.
Paradigma alternative dari WID ini adalah Gender and Development (GAD) yang tertujuan menempatkan perempuan sebagai subjek pembangunan bahkan lebih jauh memperjuangkan pembangunan yang berspektif gender. Otomatis, dengan paradigma ini masalah terbuka dan tidak menjadi previlage perempuanan[7]. Oleh karena itu perempuan dituntut untuk terlibat aktif dalam diskursus public, demokrasi, hak-hak asasi manusia, supremasi hukum dan diskursus public lainnya, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan, visi ini lebih mewakili apa yang dikenal dengan istilah gender mainstreaming.
Dari analisa diatas, maka perempuan dituntut secara terus menerus dalam melakukan revitalisasi, reaktualisasi, refungsionalisasi secara terpadu, kreatif, inovatif, luwes dan dinamis agar orientasi gerakannya tidak agi berada pada platform WID yang selama prakteknya bersifat tertutup dan demokratis dengan berlandaskan pada paradigma GAD.
Oleh karena cakrawala pandangan perempuan harus luas, tidak memagari dirinya hanya yang berhubungan dengan masalah keperempuanan saja. Perempuan harus berilmu pengetahuan, terampil, menguasai tekhnologi dan kaya wacana artinya kaum perempuan harus memiliki keseimbangan dalam kemandirian intelektual serta ketegasan dalam bersikap dengan landasan berpijak yang jelas sehingga mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru bangsa ini guna terwujudnya masyarakat madani (civil society), sebagiman termaktub dalam platform gerakan perempuan. Harapan kita akhirnya perempuan akan benar-benar mampu ber-kontributor dalam pembangunan nasional melahirkan kartini-kartini masa depan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Atas perjuangan kaum perempuan, di dalam undang-undang ini terdapat
keistimewaan bagi kaum perempuan seperti yang tercantum pada Pasal 65 ayat 1 yang
berbunyi sebagai berikut. Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah
Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Hal itu merupakan peluang yang baik bagi perempuan untuk mengejar ketertinggalannya dibidang politik, khususnya di lembaga legislatif. Landasan hukumnya sudah ada, tinggal kaum perempuan memanfaatkan keistimewaan itu dengan baik, setelah terlebih dahulu mengatasi berbagai hambatan.
Penempatan kerja yang kompetitif didasarkan pada prestasi.
Dalam berbagai dimensi pembangunan, terutama sektor riil, kaum perempuan harus ditempatkan sejajar dengan kaum laki-laki. Kompetensi personal, skills dan beberapa parameter lainnya harus secara proporsional menjadi acuannya. Tidak harus
tersegmentasi pada ranah-ranah pekerjaannya, akan tetapi kualitaslah rujukannya. Ini
menjadi semangat kita bersama dalam memperbaiki tingkat kompetisi dengan kaum
laki-laki.



Penutup
Demikianlah secara garis besar tentang optimalisasi peranan perempuan dalam public dan domestik. Jadi korelasi antara public dan domestic harus seimbang, karena jika terjadi kepincangan maka kaum perempuan tidak akan mendapatkan sesuatu yang maksimal dalam memperoleh status, peran dan fungsi yang jelas. Hal ini sangat penting dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, agar mereka tidak melihat perempuan dan laki-laki dari kaca mata biologis (peran kodrati) saja. Masyarakat juga harus melihat perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dan sumber daya insani  yang sama-sama mempunyai hak, kewajiban, kedudukan dan kesempatan dalam proses pembangunan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mengupayakan peranan perempuan dalam pembangunan serta dalam berbagai hal yang berwawasan gender, dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Hal ini perlu didukung oleh perilaku saling menghargai atau menghormati, saling membantu, saling pengertian, saling peduli dan saling membutuhkan antara perempuan dan laki-laki..
Wallahu a’lam bishowab.









DAFTAR PUSTAKA


Madjid, Nurcholish. 2006. Menembus Batas Tradisi. Jakarta : Kompas.
Fakih, Mansour. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2007. Fiqih Wanita. Bandung : Jabal.
Misbah, Musthofa. 1988. Wanita dan Permasalahannya dalam Islam. Terjemahan M Adib. Solo : CV. Ramadhani.
Publikasi Komnas Perempuan. 2005. Kejahatan Berbasis Jender serta Dampak Jender dari Peristiwa Pembantaian di Gujarat 2002. Indonesia : Komnas Perempuan kerjasama dengan Nzaid (New Zealand Agency for International Development).
Team Kajian Ilmiah Abituren 2007 (Tinta). 2007. Simbiosis Negara dan Agama ; Reaktulisasi ’Syariat’ Dalam Tatanan Kenegaraan . Kediri : Purna Siswa Aliyah 2007.
Edbert, Alexander. 2008. Show Us the Straight Path, Menemukan Kebenaran Iman yang Sejati. Jakarta : Pustaka Intermasa.


[1]Nurcholish Madjid : Ide perempuan disejajarkan dengan manusia, gagasan kesetaraan jender yang diakui bersumber dari ajaran Tauhid.
[2] Cuplikan  tulisan dari Siti Musdah Mulia dalam buku Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid.
[3] Intensifikasi merupakan cara untuk memaksimalkan output dengan meningkatkan potensi internal yang efisien dan efektif.
[4] Ekstensifikasi merupakan cara untuk memaksimalkan output dengan memperluas/memperbesar potensi eksternal yang efisien dan efektif.
[5] Scool enrollment adalah proses dimana seorang siswa mencatatkan dirinya di sekolah lain / pendidikan ditempat lain dalam hal pendidikan primer, sekunder dan tersier.
[6] Koorporatisme Negara merupakan kerjasama antar Negara, contoh ASEAN.
[7] Previlage merupakan pandangan orang tentang sesuatu yang buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar