OPTIMALISASI
PEREMPUAN DALAM MENYEIMBANGKAN PERANANNYA DI TENGAH PUBLIK DAN DOMESTIK
Latar Belakang
Berbagai masalah pelik banyak
terjadi dewasa ini. Dari mulai pemilu, gempa bumi, korupsi dan lain sebagainya.
Namun ada satu masalah yang sampai sekarang masih banyak diperbincangkan oleh
beberapa kalangan yaitu yang berkaitan dengan perempuan. Sebenarnya bukan
perempuanlah sumber masalahnya, akan tetapi menurut data-data yang telah ada
bahwa perempuan menjadi sentral yang termarginalkan dari berbagai masalah.
Misalnya kekerasan dalam rumah tangga, tenaga kerja wanita di luar negeri, upah
kerja, pengambilan keputusan dan banyak hal lagi yang semuanya menjadikan
perempuan lebih tertindas karena keadaan serta pemahaman yang tidak mendukung
perempuan untuk dapat maju sebagai manusia.
Perempuan merupakan bagian
dari masyarakat. Maka segala permasalahan yang dihadapi hendaknya semua harus
peduli dengan hal itu, misalkan ketika perempuan tertindas (contoh peristiwa
pembantaian di Gujarat), seharusnya baik perempuan maupun laki-laki harus ikut
bertindak dalam peristiwa yang tidak manusiawi ini. Karena perempuan harus
disamakan dengan manusia[1]. Pada kasus-kasus
kekerasan peristiwa pembantaian di Gujarat yang dialami pada perempuan yang
menjadi korban biasanya menimbulkan beberapa dampak yang berkepanjangan :
dampak pada kesehatan fisik (kesehatan reproduksi
dan seksual, perempuan hamil dan menyusui, akibat pemiskinan gizi dan kesehatan
perempuan), akibat-akibat kesehatan mental (mendiamkan kesakitan, rasa malu, hidup
dalam ketakutan – secara individual dan kolektif), pengaruh pada pilihan hidup
(dengan tergesa-gesa melangsungkan kawin dini, pembatasan mobilitas dan
pendidikan, munculnya kembali penanda dan peran identitas tradisional) ,
kemelaratan ekonomi dan timbulnya rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan (peranan
baru dan beban mempertahankan hidup, penggusuran).
Di zaman kini, konsep
ketimuran tentang perempuan yang menjadi kebangaan beberapa kalangan, juga
selain ditentukan oleh tradisi, adat, kebudayaan, bahkan juga ideologi dan gaya
hidup, hanyalah bagian dari keseluruhan norma dan nilai dalam masyarakat. Dengan
demikian kekerasan terhadap perempuan sama sekali tidak beralasan. Sebab hubungan
antara perempuan dan laki-laki adalah salah satu hubungan yang paling wajar,
paling alami. Namun akibat konstruksi sosialnya yang menghasilkan stereotip dan
hirarki, jarang orang mau mengakuinya dengan jujur. Orang terperangkap oleh
kemunafikan yang menghambat kedewasaan diri, kematangan dan keterbukaan. Karena
itu pengembangan konsep, peran dan status perempuan, seharusnya lebih
diberdayakan oleh perempuan itu sendiri.
Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 telah membicarakan dan
mendiskusikan tentang masalah dan isu perempuan seperti pendidikaan bagi kaum
perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, pembaharuan UU
perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri dikalangan perempuan dan
perkawinan paksa, juga tentang anti perpaduan anti poligami dan nasionalisme.
Jumlah perempuan didunia ini
semakin mendominasi dari laki-laki, begitupula permasalahannya semakin banyak
pula. Dengan jumlah perempuan yang semakin banyak ini, tentunya perempuan lebih
dapat mempengaruhi dalam kehidupan. Tapi pada kenyataannya hak perempuan tidak
sepenuhnya terlaksanakan, hal itu dipengaruhi oleh banyak factor.
Dalam hal ini sering sekali
kita dengar suatu konsep yang dijadikan sebuah referensi untuk dapat
membebaskan dan mengembalikan hak-hak perempuan, konsep itu biasa kita kenal
dengan istilah gender. Konsep Gender sendiri diartikan sebagai suatu konsep
hubungan social yang membedakan peranan antara laki-laki dengan perempuan, yang
dibentuk oleh norma social dan nilai social budaya masyarakat.
Untuk memahami konsep ini
perlu kita bedakan antara jenis kelamin (sex)
dan gender. Hal tersebut perlu dipahami karena ada kaitan yang erat
antara perbedaan gender ( gender differences) dan ketidakadilan gender (gender
inqualities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Jenis
kelamin (sex) lebih pada factor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul
dikotomi laki-laki dan perempuan[2]. Sedangkan konsep gender
sendiri lebih pada konstruksi social, mengacu pada sifat, peran, tanggung
jawab, fungsi, hak dan perilaku pada laki-laki dan perempuan. Berdasarkan
kondisi itu maka peran gender dapat berbeda antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya sesuai dengan norma social dan nilai social budaya yang
dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke
masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi, dan sebagainya dan
dapat ditukarkan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini berarti, peran gender
bersifat dinamis.
Kasat Mata : Status dan Peran Perempuan
Menurut kondisi normative,
perempuan dan laki-laki mempunyai status dan kedudukan dan peranan (hak dan
kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, perempuan mengalami
ketertinggalan yang lebih besar dari pada laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh
norma social dan nilai social budaya tersebut, di antaranya di satu pihak,
menciptakan status dan peranan perempuan di sector domestic yakni berstatus
sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga,
sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peranan laki-laki di sector
public yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan mencari nafkah.
Pemberdayaan Perempuan
Jumlah perempuan yang semakin
besar, apabila jumlah tersebut dikelola secara efektif dan efisiensi, hal itu
dapat merupakan aset sumber daya pembangunan yang potensial. Untuk itu,
optimalisasi penduduk sebagai sumber daya pembangunan harus diimbangi dengan
berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup baik laki-laki maupun perempuan,
sehingga dapat berperan dalam pembangunan. Sekaligus, hal itu memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan pilihan atas peran mereka dalam
pembangunan.
Meskipun berbagai upaya
pembangunan telah banyak dilakukan, masih dijumpai berbagai ketimpangan antara
laki-laki dan perempuan yaitu dalam peluang dan akses terhadap SDM. Ketimpangan
tersebut merupakan masalah struktural yang telah lama ada dan berkembang dalam
masyarakat terutama disebabkan oleh nilai-nilai sosial budaya.
Selanjutnya kemajuan yang
diraih oleh kaum perempuan ditandai dengan peranan yang semakin meluas dan
beragam. Tidak hanya kegiatan sosial reproduktif dalam keluarga, tetapi peran
perempuan telah meluas dalam kegiatan publik, seperti: di bidang pendidikan,
kesehatan, KB, ekonomi dan ketenagakerjaan, politik dan hukum, kesejahteraan
sosial, agama, sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender. Penegakan HAM bagi
perempuan dan organisasi perempuan yang dilaksanakan melalui program
pemberdayaan perempuan telah memperoleh hasil yang cukup positif meskipun pada
bidang-bidang tertentu masih tidak terlihat kemajuan.
Pada saat ini, masih banyak
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender yaitu belum
mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara
perempuan dan laki-laki, serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender
sebagai sarana akhir dari pembangunan. Namun ada permasalahan yang muncul
berkaitan dengan hal tersebut. Masalah itu adalah nilai-nilai sosial budaya di
masyarakat yang belum mendukung kemajuan perempuan. Kualitas sumber daya
manusia perempuan yang masih rendah, dan lemahnya koordinasi antar sektor,
serta mekanisme kerja yang belum memadai.
Pengerucutan masalah
Pertanyaannya adalah bagaimana supaya kita mampu
fokus pada solusi suatu persoalan? Pertama-tama
kita harus menyadari bahwa setiap orang tidak dapat lepas dari masalah.
Kesadaran ini sangat membantu dalam menghadapi sebuah masalah. Bahwasanya
masalah itu pasti dialami oleh semua orang kapan saja dan dimana saja. Jadi,
masalah itu adalah wajar bukan hal yang patut ditakuti.
Sebuah permasalahan tak pernah usai jika seseorang
tak mampu mencari solusinya. Jangan memikirkan kegagalan dari tiap ide solusi,
tapi berpikrlah mengenai keberhasilan mengatasi persoalan tersebut. Bila takut
gagal mengakibatkan takut mencoba melangkah mengatasi permasalahan. Sehingga
kehilangan kesempatan untuk keluar dari problema kehidupan. Tetapi jika berani
mencoba, setidaknya kita masih mempunyai kesempatan dan harapan lolos dari
masalah.
Ketika solusi yang kita terapkan tidak berhasil,
jangan menyerah. Kegagalan itu anggap saja sebagai kesempatan mengevaluasi
diri, mencari tahu kelemahan solusi kemudian menyempurnakan. Ingat, bahwa
perjuangan bukan biasa atau tidak biasa melainkan mau atau tidak kita konsisten
memfokuskan fikiran pada solusi sampai persoalan tersebut terurai dan teratasi.
Dalam hal ini ada dua variable yaitu publik dan domestic.
Dikatakan public apabila menyangkut kepentingan banyak orang dalam
penerapannya. Dikatakan domestic apabila menyangkut dirinya sendiri, disini
adalah diri seorang perempuan baik sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak
dan perilaku pada perempuan tersebut. Contoh dari ranah publik salah satunya
tercermin pada pembangunan nasional. Upaya peningkatan kualitas pembangunan nasional,
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mensyaratkan SDM yang berkualitas dan
professional. Hal ini senantiasa actual sebagai agenda kajian yang serius bagi
pemerintah dan seluruh komponen masyarakat. Dalam kontek ini dituntut adanya
pemberdayaan perempuan melihat realitas bahwa sumbangan perempuan dalam
pembangunan ekonomi cukup besar terutama dalam posisi sebagai pekerja. Tetapi
realitas pula menunjukan bahwa dalam masyarakat Indonesia secara garis besar budaya
patriarki masih menjadi kulture dan kenyataan ini mendudukkan perempuan dalam
ruang subordinate (perempuan selalu kalah oleh laki-laki karena persoalan
kelamin bukan karena persoalan kualitas, produktifitas dan profesionalitas)
Fenomena yang ada menunjukan
bahwa perempuan di Indonesia dalam kondisi termarjinalisasi, tersubordinasi,
terkena tindak kekerasan, pandangan stereotip (pelabelan) dan beban ganda (double
burden) yang sangat merugikan. Jika dilihat dalam akar sejarahnya ternyata
berawal dari budaya patriarkhis, dimana peran laki-laki sanga dominan. Budaya
patriarkhi yang sesuai peradaban manusia mampu menggeser peran-peran perempuan
dimana perempuan berada pada sector domestic dan laki-laki pada sector public.
Adanya system kapitalis mengukuhkan budaya patriarkhi dan menjadikan
peran-peran domestic tidak dihargai sama sekali karena bagaimana kapitalis
selalu mengagungkan materi.
Ranah Publik
Ranah publik berupa segala yang berkaitan dengan
masyarakat. Perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Maka perempuan juga
salah satu factor dalam menentukan apa saja yang berhubungan dengan masyarakat.
Keterlibatan perempuan dalam public ini bisa dibilang hanya beberapa persen
saja. Hal tersebut sesuai fakta yang ada, missal keterlibatan perempuan dalam
pengambilan keputusan.
Di Indonesia, jumlah perempuan
yang menjadi anggota legislatif (DPR RI/MPR RI), PNS perempuan yang menduduki
jabatan struktural dan jumlah perempuan yang menjadi Lurah/Kepala Desa, jauh
lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah warga negara
Indonesia perempuan lebih banyak (> 50%). Data menunjukkan, bahwa dari
setiap delapan orang anggota DPR RI hanya seorang perempuan dan setiap 13 orang
anggota MPR RI hanya seorang perempuan. Dilihat dari PNS perempuan yang
menduduki jabatan eselon empat orang pejabat eselon I, seorang di antaranya
perempuan; dari setiap 19 orang pejabat eselon II, seorang di antaranya
perempuan; dari setiap 15 pejabat eselon III, seorang di antaranya perempuan dan dari setiap sembilan orang pejabat eselon
IV, seorang di antaranya perempuan. Begitu juga perempuan yang menjadi
Lurah/Kepala Desa jauh lebih sedikit daripada pria. Dari setiap 40 orang Lurah,
hanya seorang perempuan dan dari setiap 55 orang Kepala Desa, hanya seorang
perempuan. Data ini menggambarkan terjadi ketimpangan gender di bidang politik,
yakni di lembaga legislatif dan eksekutif, sekaligus pula menggambarkan bahwa
kedudukan dan peranan perempuan jauh lebih rendah daripada pria di bidang tersebut.
Perempuan dalam pengambilan keputusan
desa/kelurahan
Kepala Desa Perempuan Kepala Kelurahan Perempuan
Anggota BPD
Sumber data : Biro Pemerintahan tahun 2008
Jika dilihat dari data diatas bahwa perempuan
dalam pengambilan keputusan dimasyarakat
jumlahnya sangat rendah. Seiring dengan makin
berkembangnya tuntutan dan suasana demokrasi di berbagai belahan dunia, suara
masyarakat (atau entitas nonpemerintah secara umum) telah makin mendapatkan
tempat dalam pengambilan keputusan. Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan
dengan dukungan yang kuat dari masyarakatnya. Di sisi lain, dewasa ini aktor-aktor
nonnegara makin mempunyai peluang dan kesempatan yang lebih besar terhadap
akses ekonomi dan politik sehingga mereka makin dapat memengaruhi pengambilan
keputusan suatu pemerintahan atau suatu negara. Peranan diplomasi tradisional
(yaitu diplomasi yang dilaksanakan oleh pemerintah) tidak lagi dianggap sebagai
satu-satunya instrumen utama untuk membentuk citra positif suatu negara di
dunia internasional. Aktivitas diplomasi tradisional perlu dilengkapi dengan intensifikasi[3] diplomasi publik. Pendekatan
diplomasi publik juga mengalami redefinisi dan ekstensifikasi[4], untuk memenuhi berbagai
tuntutan global yang makin kompleks.
Sasaran utama dari kegiatan diplomasi publik
adalah penyebarluasan citra baik tentang bangsa
dan negara kepada masyarakat negara lain dan masyarakat internasional. Citra
baik suatu bangsa ditentukan oleh dua faktor. Pertama adalah rumusan ideal
tentang nilai-nilai bangsa, sebagaimana dituangkan dalam konstitusi
negara. Kedua adalah kondisi aktual yang
terjadi di dalam negeri negara tersebut. Aspek pertama bersifat normatif, yang
hampir seluruh bangsa di dunia memiliki citra positif dalam konstitusi mereka,
yang diharapkan akan menjadi anutan dan falsafah hidup masyarakat. Sementara
aspek kedua bersifat aktual empirik, yang hal ini berkaitan dengan dinamika
ekonomi, politik, dan sosial budaya yang terjadi di dalam sebuah negara.
Ranah Domestik
Pandangan berbagai pihak
mengenai peran perempuan sering kita pelesetkan dalam 3 UR yaitu dapur, sumur
dan kasur. Namun sebenarnya status dan peranan perempuan di sector domestic
yang berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah
tangga pada kenyataanya bukan dalam hal itu saja. Secara kronologis perempuan
juga mempunyai andil yang besar dalam berbagai hal. Dari mulai kodratnya
melahirkan seorang manusia sampai dengan membesarkannya, perempuan sebagai individu yang mempunyai peran dalam
hal ini. Seorang ibu yang hamil menjaga kandungannya hingga bayi yang ada dalam
kandungannya lahir, setelah lahir ibu menjadi orang pertama yang hubungan
emosionalnya lebih erat dengan si bayi, belum selesai sampai disitu perempuan
juga harus membimbing anaknya dengan baik, menjadi perpustakaan bagi sang anak
juga perlu, maka dari pada itu seorang perempuan dituntut cerdas, kreatif,
inovatif untuk mampu dalam memerankan fungsinya di daerah domestik, itu berarti
disini pendidikan dibutuhkan.
Menurut Todaro, ada hubungan
yang terbalik antara pendidikan bagi kaum
perempuan dengan jumlah anak per keluarga,
khususnya di kalangan penduduk yang taraf pendidikannya secara umum relative
rendah. Artinya semakin tinggi pendidikan yang diterima perempuan maka tingkat
fertilitas atau kecenderungan untuk memiliki anak akan semakin rendah. Indikator
yang dipakai dalam pengukuran pendidikan wanita berikut ini meliputi angka
melek huruf dan school enrollment[5] yang menunjukkan pola yang penting dan
kecenderungan pendidikan perempuan di negara berkembang. Masing-masing indicator
menunjukkan konklusi yang sama : di Negara-negara miskin level pendidikan
perempuan masih rendah serta pengukuran gap antara gender terbesar terjadi di
Negara-negara ini. pembangunan pendidikan perempuan di Indonesia masuk dalam
Medium Human Development dimana angka melek huruf untuk perempuan berusia 15
tahun keatas adalah 86,8%, dan angka melek huruf laki-laki adalah sebesar 94%
jika dipersentasekan adalah 92%. Rasio kombinasi antara school
enrollment untuk primary, secondary, dan tertiary school yaitu 67% untuk
perempuan dan 70% untuk laki-laki.
Kesenjangan atau gap pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang
terjadi di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya antara lain disebabkan
oleh factor
budaya dimana sebagian masyarakat Indonesia
beranggapan bahwa pendidikan tinggi
untuk perempuan dianggap tidak penting karena
setinggi apapun pendidikan seorang perempuan tidak akan berguna karena pada
akhirnya perempuan hanya akan menjadi pengurus rumah tangga, selain itu ada
anggapan lain bahwa setinggi apapun kemampuan atau pendidikan seorang perempuan
hal itu tidak akan sebanding dengan pria karena anggapan bahwa derajat
perempuan lebih rendah daripada pria dan memang itu sudah menjadi kodrat
perempuan.
Dalam kenyataannya peran,
status dan fungsi perempuan bukan hanya beberapa hal kodrati (perhatikan antara
sex dan gender). Jadi ranah domestik yang dimaksud disini dapat kita pahami
dari dua hal, secara kodrati (melahirkan, menyusui) dan secara kebiasaan/budaya
(mendidik anak), semuanya harus dimaknai dengan sinkron karena semuanya saling
berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.
Menuju Kemitrasejajaran yang harmonis
Sebetulnya, usaha untuk
mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan atau
kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan,
telah lama dilakukan oleh berbagai pihak, namun masih mengalami berbagai
hambatan. Kondisi yang diharapkan itu masih sulit dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat, khususnya kaum perempuan. Untuk mewujudkan kemitrasejajaran
yang harmonis antara perempuan dan laki-laki tersebut, telah ditempuh beberapa
langkah-langkah kebijakan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Pengarusutamaan Gender
Gender Mainstreming atau dalam
bahasa Indonesianya disebut dengan Pengarus Utamaan Gender (PUG), diperkuat
dengan Inpres No. 9 Th. 2000, tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional.
Tujuan dari PUG ini adalah membangun sebuah system
yang efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang
responsive gender kepada masyarakat umum, baik perempuan maupun laki-laki.
Selain itu kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan
yang adil dan responsive gender akan membuahkan manfaat yang adil dan optimal
bagi semua rakyatnya. Dan akhirnya mencapai keadilan dan kesetaraan gender
(KKG) yang kita semua harapkan. Dengan melakukan PUG, dapat diidentifikasikan
kesenjangan gender yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender, dengan
demikian tujuan akhir dari pengarus utamaan gender adalah mempersempit atau
meniadakan kesenjangan gender.
Perempuan sebagai komponen
strategis bangsa dan sebagsi salah satu wadah akselerasi pemberdayaan perempuan
harus diarahkan pada upaya penciptaan suasana yang lebih kondusif bagi
perkembangan peran perempuan yaitu secara kontinyu mensosialisasikan
peran-peran strategis perempuan dalam pembangunan serta penyadaran akan
peran-peran masyarakat berbangsa dan bernegara karena perempuan akan senantiasa
dihadapkan pada kondisi yang penuh tantangan dalam menghadapi berbagai
persoalan kemasyarakatan khususnya persoalan keperempuanan.
Di sisi lain, konsep
pemberdayaan perempuan dalam bingkai kesetaraan gender secara umum berorientasi
pada paradigma Women in Development (WID), dimana dalam asumsinya masih
besifat sexis, yang melihat perempuan sebagai objek yang harus dimobilisasi
untuk mendukung proyek pembangunan. Paradigma WID inilah yang dianut Negara
selama ini dipadukan dengan kebijakan koorporatisme negara[6]. Organisasi keperempuanan
bentukan Negara seperti dharma wanita atau PKK dengan segenap agendanya adalah
instrumen yang ampuh untuk mobilisasi kaum perempuan untuk mendukung
pembangunan.
Dominasi Negara atas perempuan
tercipta secara sistematis melalui proses tersebut. Implikasi lain dari
paradigma WID ini adalah ekslusivisme issue-issue keperempuanan, yang berakibat
pada marjinalisasi kaum perempuan dari ranah-ranah public.
Paradigma alternative dari WID
ini adalah Gender and Development (GAD) yang tertujuan menempatkan perempuan
sebagai subjek pembangunan bahkan lebih jauh memperjuangkan pembangunan yang
berspektif gender. Otomatis, dengan paradigma ini masalah terbuka dan tidak menjadi
previlage perempuanan[7]. Oleh karena itu perempuan
dituntut untuk terlibat aktif dalam diskursus public, demokrasi, hak-hak asasi
manusia, supremasi hukum dan diskursus public lainnya, khususnya yang berkaitan
dengan perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan, visi ini lebih mewakili
apa yang dikenal dengan istilah gender mainstreaming.
Dari analisa diatas, maka perempuan
dituntut secara terus menerus dalam melakukan revitalisasi, reaktualisasi,
refungsionalisasi secara terpadu, kreatif, inovatif, luwes dan dinamis agar
orientasi gerakannya tidak agi berada pada platform WID yang selama prakteknya
bersifat tertutup dan demokratis dengan berlandaskan pada paradigma GAD.
Oleh karena cakrawala
pandangan perempuan harus luas, tidak memagari dirinya hanya yang berhubungan
dengan masalah keperempuanan saja. Perempuan harus berilmu pengetahuan,
terampil, menguasai tekhnologi dan kaya wacana artinya kaum perempuan harus
memiliki keseimbangan dalam kemandirian intelektual serta ketegasan dalam
bersikap dengan landasan berpijak yang jelas sehingga mampu melahirkan
pemimpin-pemimpin baru bangsa ini guna terwujudnya masyarakat madani (civil
society), sebagiman termaktub dalam platform gerakan perempuan.
Harapan kita akhirnya perempuan akan benar-benar mampu ber-kontributor dalam
pembangunan nasional melahirkan kartini-kartini masa depan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum
Atas perjuangan kaum perempuan,
di dalam undang-undang ini terdapat
keistimewaan bagi kaum perempuan seperti yang
tercantum pada Pasal 65 ayat 1 yang
berbunyi sebagai berikut. Setiap Partai Politik
peserta Pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
untuk setiap Daerah
Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Hal itu merupakan peluang yang baik bagi perempuan
untuk mengejar ketertinggalannya dibidang politik, khususnya di lembaga
legislatif. Landasan hukumnya sudah ada, tinggal kaum perempuan memanfaatkan
keistimewaan itu dengan baik, setelah terlebih dahulu mengatasi berbagai hambatan.
Penempatan kerja yang kompetitif didasarkan
pada prestasi.
Dalam berbagai dimensi
pembangunan, terutama sektor riil, kaum perempuan harus ditempatkan sejajar
dengan kaum laki-laki. Kompetensi personal, skills dan beberapa parameter
lainnya harus secara proporsional menjadi acuannya. Tidak harus
tersegmentasi pada ranah-ranah pekerjaannya, akan
tetapi kualitaslah rujukannya. Ini
menjadi semangat kita bersama dalam memperbaiki
tingkat kompetisi dengan kaum
laki-laki.
Penutup
Demikianlah secara garis besar
tentang optimalisasi peranan perempuan dalam public dan domestik. Jadi korelasi
antara public dan domestic harus seimbang, karena jika terjadi kepincangan maka
kaum perempuan tidak akan mendapatkan sesuatu yang maksimal dalam memperoleh
status, peran dan fungsi yang jelas. Hal ini sangat penting dipahami oleh
seluruh lapisan masyarakat, agar mereka tidak melihat perempuan dan laki-laki
dari kaca mata biologis (peran kodrati) saja. Masyarakat juga harus melihat
perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dan sumber daya insani yang sama-sama mempunyai hak, kewajiban,
kedudukan dan kesempatan dalam proses pembangunan, baik dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mengupayakan peranan
perempuan dalam pembangunan serta dalam berbagai hal yang berwawasan gender,
dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan. Hal ini perlu didukung oleh perilaku saling
menghargai atau menghormati, saling membantu, saling pengertian, saling peduli
dan saling membutuhkan antara perempuan dan laki-laki..
Wallahu a’lam
bishowab.
DAFTAR PUSTAKA
Madjid,
Nurcholish. 2006. Menembus Batas
Tradisi. Jakarta : Kompas.
Fakih, Mansour.
2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2007. Fiqih Wanita. Bandung :
Jabal.
Misbah,
Musthofa. 1988. Wanita dan Permasalahannya dalam Islam. Terjemahan M Adib. Solo
: CV. Ramadhani.
Publikasi
Komnas Perempuan. 2005. Kejahatan Berbasis Jender serta Dampak Jender dari
Peristiwa Pembantaian di Gujarat 2002. Indonesia : Komnas Perempuan
kerjasama dengan Nzaid (New Zealand Agency for International Development).
Team
Kajian Ilmiah Abituren 2007 (Tinta). 2007. Simbiosis Negara dan Agama ;
Reaktulisasi ’Syariat’ Dalam Tatanan Kenegaraan . Kediri : Purna
Siswa Aliyah 2007.
Edbert, Alexander. 2008. Show Us the Straight Path,
Menemukan Kebenaran Iman yang Sejati. Jakarta : Pustaka Intermasa.
[1]Nurcholish
Madjid : Ide perempuan disejajarkan dengan manusia, gagasan kesetaraan jender
yang diakui bersumber dari ajaran Tauhid.
[2] Cuplikan tulisan dari Siti Musdah Mulia dalam buku Refleksi
atas Pemikiran Nurcholish Madjid.
[3] Intensifikasi merupakan cara untuk
memaksimalkan output dengan meningkatkan potensi internal yang efisien dan efektif.
[4] Ekstensifikasi merupakan cara untuk
memaksimalkan output dengan memperluas/memperbesar potensi eksternal yang
efisien dan efektif.
[5] Scool enrollment adalah proses dimana
seorang siswa mencatatkan dirinya di sekolah lain / pendidikan ditempat lain
dalam hal pendidikan primer, sekunder dan tersier.
[6] Koorporatisme Negara merupakan kerjasama
antar Negara, contoh ASEAN.
[7] Previlage merupakan pandangan orang
tentang sesuatu yang buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar